Laman Hussaini

Tuesday, November 29, 2005

 

Masjid In China

Kucha Masjid, Kucha. CHINA.

Kucha Masjid, Kucha
The second largest Masjid in Xinjiang, the Kucha
Mosque is located on the east side of Kucha County. Kucha Masjid, Kucha

The second largest Masjid in Xinjiang, the Kucha
Masjid is located on the east side of Kucha County.
Jaman Masjid, Hotan. CHINA.
One of the largest Masjid in Hotan, it is
situated in the city's downtown area. The structure was built in the second
reign year of Qing Dynasty Emperor Guangxu (1875), and renovated in 1997 with a
government allocation.

Jame Masjid, Kurle. CHINA.
Jame Masjid was erected in 1961 on Southern Tuanjie
St., Kurle. It is the largest in the city, and the most influential one in the
prefecture.

BEYTULLA MASJID

Beytulla Masjid, Yining
This Masjid, completed in the 38th reign year of Qing
Dynasty Emperor Qianlong (1773), was China's first Islamic religious center
built with allocations from the imperial court. It is the largest of its kind in
the city. With many going there to study the Qur'an since its completion, it is
also known as a leading institute of higher Islamic studies. The
decaying Masjid was renovated in 1995, when the whole building was rebuilt
except the entrance arch. The structure is now located on the corner of South
Jiefang St. and Xinhua St.

QAZIHAN MASJID

Qazihan Masjid, Turpan

Although situated in the new quarter of Turpan,
Qazihan Masjid was built in 1747. It underwent a complete renovation of both
interior and exterior in 1983.

MORE MASJIDS TO FOLLOW...

Saturday, November 26, 2005

 

Hurr : mengapa kita melupakannya?

Hurr: mengapa kita melupakannya?
Adel Muhammad02:30am 07 Jan 2004


Hurr adalah nama salah seorang panglima tinggi tentera ‘Umar bin Sa’ad yang menghadapi cucu Nabi Saw, Husain bin ‘Alî, atas perintah dari Yazid bin Muawiyah untuk melaksanakan salah satu dari dua perintahnya, yaitu mendapatkan baiat (sumpah setia) Husain bagi kekhalifahannya yang korup, atau membunuh Husain dan semua sahabatnya. Adalah Hurr dan tenteranya yang mula-mula menghadapi Imam Husain, dan kemudian mengepungnya, serta menghalangi beliau dan para sahabatnya untuk mendapatkan air minum.

Pada hari ‘Asyura, Hurr membuat sebuah keputusan yang besar. Persis sebelum pertempuran dimulai, dia meninggalkan posisi dan pasukan yang sedang dipimpinnya, dan bergabung dengan Imam Husain. Dan menjadi syahid pertama yang terbunuh di jalan Allah oleh tentera yang beberapa jam sebelumnya masih berada di bawah komandannya. Nama Hurr bererti “merdeka, lahir sebagai orang merdeka, mulia, orang bebas.”

Takdir terkadang melakukan sebuah permainan. Pabrik penciptaan terus-menerus memproduksi makhluk-makhluk yang tak terhitung jumlahnya: batu-batu, pohon-pohon, sungai-sungai, serangga-serangga, manusia, dan terkadang memperlihatkan sebuah adegan humor, menciptakan sebuah inovasi atau kekecualian: ia menulis puisi, menggambar sebuah lukisan, atau melakukan sesuatu yang unik. Dalam satu kata, dapat dikatakan bahawa benda-benda ciptaan tersebut mempunyai “karakter”. Dari antara rumah-rumah, ada Ka’bah, dari antara semua tembok, ada Tembok Besar Cina; dari antara planet-planet yang mengelilingi matahari, ada bumi, dan dari semua syuhada, ada Hurr.

Tangan artistik takdir telah menyusun adegan ini dengan tingkat ketepatan dan ketelitian yang paling tinggi. Dan seolah-olah hendak menekankan pentingnya ceritera yang sedang terjadi, ia memilih semua pemain lakonnya dari pemain-pemain yang berkarakter absolut, alias mutlak, dengan tujuan untuk menjadikan ceritanya lebih efektif.

Cerita yang sedang kita bicarakan ini adalah tentang sebuah “pilihan”, sebuah manifestasi terpenting dari arti menjadi seorang manusia. Tetapi, pilihan macam apa? Kita semua dihadapkan pada beberapa pilihan dalam kehidupan kita sehari-hari: karier, teman, isteri, rumah, bidang studi. Tetapi dalam cerita ini, pilihannya jauh lebih sulit: antara baik dan buruk. Dan di samping itu, pilihan tersebut juga bukan dari sudut pandang filosofis, ilmiah, ataupun teologis. Sungguh, pilihan yang sedang kita bicarakan di sini adalah pilihan antara agama yang benar dan agama yang lancung, antara politik yang adil dan politik yang zalim, dengan nyawa sebagai harga yang harus dibayar untuk pilihan yang diambil.

Untuk menekankan lebih jauh sensitifnya situasi, pencipta lakon cerita ini tidak menempatkan sang pahlawan di tengah-tengah antara yang benar dan yang bathil. Alih-alih, si pahlawan adalah pemimpin dari pasukan tentera yang berdiri di pihak yang jahat. Di lain pihak, sutradara lakon ini harus mencari lambang-lambang bagi ceritanya untuk membuatnya efektif. Akankah dia menempatkan Prometheus di satu pihak dan beberapa setan di pihak yang lain? Tapi pemilihan tokoh-tokoh seperti ini akan menjadikan ceritanya terlalu berbau mitos. Bagaimana dengan Spartacus dan Crasius? Tidak, nama-nama ini akan membuat ceritanya bercorak nasionalistis dan memberikan kepadanya sifat bergantung pada kelas sosial. Bagaimana dengan Ibrahim dan Namrud? Mûsâ dan Fir’aun? Yesus dan Judas? Tidak juga. Sebab bagi kebanyakan orang nama-nama ini adalah tokoh-tokoh yang bersifat metafisik dan terlalu “tinggi”, jauh berbeda dengan orang kebanyakan. Memasang mereka sebagai pemain utama akan mengurangi efek cerita, dan menjadikan orang mengagumi mereka, tapi tidak akan berpikir untuk mengikuti contuh teladan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, tujuan utama cerita ini adalah untuk mengajar, menunjukkan kemampuan manusia untuk berubah, untuk menunjukkan bahawa adalah mungkin bagi seorang awam, bahkan seorang yang berdosa, untuk memutuskan semua ikatan sosial, kekeluargaan dan kelasnya, dan memperlihatkan perubahan yang suci.

Sejarah Islam penuh dengan fenomena kontradiksi. Kedua garis pertentangan yang berawal dari Habil dan Qabil dan yang terus ada di sepanjang sejarah, secara berhadapan dalam berbagai wajah, juga terus berlanjut di dalam Islam. Nah, dalam cerita ini kedua aliran ini sama-sama mengenakan baju Islam, tapi dengan arah menghadap yang berlawanan. Ironisnya, pahlawan kita diharuskan memilih antara ujung-ujung yang paling ekstrim pada masing-masing pihak, iaitu: Yazid vs. Husain. Sungguh, seandainya cerita ini dikarang oleh seorang pengarang, niscaya dia akan segera boleh dikenali dan diakui kerana keaslian dan kualiti seninya...

Siapa nama pahlawan ini? Bagi seorang tokoh sejarah, apa yang penting adalah peranan yang dimainkannya, bukan namanya. Sebab namanya adalah sesuatu yang dipilihkan untuknya oleh keluarganya, sesuai dengan selera orangtuanya. Di lain pihak, jika cerita ini diciptakan oleh seorang pengarang yang memiliki originaliti, niscaya dia akan memilih sebuah nama yang relevan dengan peranan yang dimainkan oleh pahlawannya. Tetapi dalam cerita ini pahlawan kita telah diberi nama Hurr oleh ibunya, seolah-olah ibunya telah melihat peranan sangat peka yang akan dimainkan oleh anaknya nanti. Maka, ketika sang Pemimpin kemerdekaan memandangi tubuhnya yang berlumuran darah sesaat sebelum dia menghembuskan nafas yang terakhir, beliau mengatakan kepadanya: “Wahai Hurr, semoga Allah merahmatimu! Engkau adalah seorang yang merdeka di dunia ini dan juga di akhirat nanti, persis sebagaimana arti nama yang diberikan ibumu kepadamu!”

Meskipun Hurr telah memainkan peranan yang unik dalam sejarah, namun esensi peranannya tidaklah terbatas hanya pada dirinya saja. Makna tindakannya, dalam kenyataannya, mencakup semua manusia, malahan dapat dikatakan mendefinisikan “kemanusiaan”. Tindakannya itulah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya, yang menggaris-bawahi tanggung jawab manusia dan terhadap Tuhan, terhadap sesama manusianya dan terhadap dirinya sendiri. Dan Hurr telah memainkan peranannya tidak dengan kata-kata dan konsep-konsep, tetapi dengan cinta dan darah. Jika kita menangkap kedalaman kata-kata Imam Shâdiq bahawa “Setiap hari adalah hari ‘Asyura dan setiap tempat adalah Karbala, dan setiap bulan adalah bulan Muharram”, maka kita akan segera mengerti perluasan kata-kata ini, iaitu: “dan setiap orang adalah Hurr!”

Sejarah kita, yang berawal dari Habil dan Qabil, adalah manifestasi dari pertentangan abadi antara kubu Tuhan dan kubu Syaitan, meskipun dalam masing-masing zaman kedua kubu ini diselubungi samaran yang berbeda. Kerana itu, dalam setiap masa, setiap orang mendapati dirinya berada pada posisi yang sama dengan Hurr: sendirian, di tengah-tengah, ragu-ragu, di antara dua pasukan tentera yang sama. Di satu pihak, komandan tentera kejahatan berseru kepada pasukannya: “Wahai tentera Allah! Serbu!” dan di pihak lain, seorang Imam, dengan suara yang bergema sepanjang sejarah, bertanya - bukan memerintah - “Adakah orang yang mau membela aku?” Dan anda, orang itu, mesti memilih.

Dengan pilihan inilah Anda menjadi manusia. Sebelum menjatuhkan pilihan, Anda bukan apa-apa. Anda hanya suatu eksistensi tanpa esensi, anda berdiri di tengah-tengah. Jadi, orang yang mendapatkan eksistensi melalui kelahiran, menemukan “esensi” melalui pilihan. Dengan pilihan inilah penciptaan manusia menjadi sempurna, dan inilah tepatnya saat ketika manusia merasakan beban berat di pundaknya dan mendapati dirinya sendirian, kerana Tuhan dan alam telah membiarkannya berdiri sendiri dalam membuat keputusan yang penuh bahaya ini.

Sekarang kita boleh menilai pahlawan kita, kita boleh merasakan perjalanan panjang apa yang telah ditempuhnya dalam waktu singkat itu, perjalanan untuk mengubah dirinya dari seorang Hurr yang berdiri di pihak Yazid menjadi Hurr yang membela Husain. Jika dia tetap berada bersama tentera Yazid, maka dunianya akan terjamin. Dan jika dia bergabung dengan pasukan Husain yang jumlahnya kecil, maka kematiannya dapat dipastikan. Saat itu adalah pagi di hari ‘Asyura, dan meskipun pertempuran belum dimulai di lapangan, Hurr
menyedari bahawa kesempatan baginya tidak akan lama. Waktu berjalan cepat, dan detik-detik yang berlalu sangat bererti. Badai telah mulai bergolak di dalam dirinya.

Sejak mula, Hurr telah berharap bahawa insiden-insiden yang telah terjadi tidak akan membawa kepada peperangan. Tapi sekarang perperangan tampaknya tak boleh dihindarkan lagi. Manusia memiliki kemampuan yang terbatas untuk bertoleransi terhadap rasa malu dan kehinaan, kecuali mereka yang memang genius dan boleh mentoleransi kehinaan hingga pada tingkat yang tak terbatas. Tak pernah terlintas dalam benak Hurr bahawa menjadi “pegawai” dalam pemerintahan Yazid akan bererti harus berkomplot dalam tindakan-tindakan kriminalnya. Baginya, pekerjaannya hanyalah sumber penghidupan yang tak ada sangkut pautnya dengan politik ataupun agamanya.

Sekarang dia menyedari bahawa menyatukan kedudukannya dengan agamanya adalah hal yang mustahil. Maka, dengan putus asa dan sebagai langkah terakhir, dia lalu berbicara kepada komandan pasukannya (Umar bin Sa’ad) yang - sebagaimana dirinya - juga enggan terlibat dalam peperanangan dan hanya mahu menerima tugas yang diberikan kepadanya kerana dijanjikan akan diberi jabatan sebagai gabernor wilayah Ray dan Jurjan. Hurr berfikir, apa yang lebih baik dari pada mencapai sebuah solusi tanpa terlibat dalam penumpahan darah cucu Nabi dan keluarganya.

Baik Hurr maupun Umar bin Sa’ad ketika menempuh perjalanan dari istana Yazid ke Karbala bersama-sama, dan keduanya mempunyai status dan kedudukan sosial yang sama. Hurr bertanya kepada Umar: “Bolehkah kamu mencari jalan keluar dari situasi ini?”

Umar menjawab: “Engkau tahu bahawa seandainya wewenang berada di tanganku, pasti akan aku akan melakukan apa yang kau usulkan itu. Tapi atasanmu ‘Ubaidullah bin Ziyad tidak mau menerima penyelesaian damai!”

“Jadi, apakah engkau akan berperang dengan orang ini (Husain)?”

“Ya. Demi Tuhan, aku akan terjun ke dalam peperangan yang akibatnya yang paling ringan adalah terpenggalnya kepala-kepala dan terpotongnya tangan-tangan.”

Sekarang, nyata sudah bagi Hurr bahawa dia tidak boleh lagi bermain-main dengan agamanya. Maka kedua rakan itu pun lalu bersimpang jalan.

Bagi Hurr, tentera Yazid yang berjumlah puluhan ribu itu sekarang bukan apa-apa lagi, tak lebih dari sekumpulan wajah yang tak punya erti. Segerombolan besar manusia tanpa peribadi, sekelompok individu tanpa hati. Orang-orang yang berteriak-teriak penuh semangat, tanpa tahu mengapa mereka berteriak-teriak. Serdadu-serdadu yang bertempur tanpa tahu untuk siapa mereka berperanang. Sekarang Jesus-nya cinta dan kesedaran menyembuhkan orang yang buta dan menghidupkan kembali orang yang mati, menciptakan seorang syahid dari seorang pembunuh. Dalam sebuah perjalanan, tidaklah cukup menanyakan tujuan saja. Kita juga mesti bertanya tentang darimana berangkatnya. Dengan demikian, panjangnya perjalanan Husain menjadi jelas manakala kita menyedari dari mana dia mulai dan di mana dia berhenti, yang semuanya terjadi dalam waktu setengah hari.

Dalam hijrahnya dari Syaitan menuju ke Allah, Hurr tidak mempelajari filsafat ataupun teologi, tidak pula menghadiri kuliah atau pergi ke sekolah. Dalam kenyataannya “arah” inilah yang memberi erti kepada segala sesuatu: seni, ilmu pengetahuan, kesusasteraan, agama, doa-doa, ibadah haji, Muhammad, dan ‘Alî.

Setelah memulai perjalanannya, maka sambil mengendarai kudanya, maka dengan perlahan-lahan Hurr meninggalkan pasukan tenteranya menuju ke kelompok Husain. Muhajir bin Aus, yang melihat tingkah laku Hurr, yang tampak gelisah hebat dan cemas, bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi dengan dirimu, Hurr? Aku bingung melihat tingkahmu. Demi Allah, jika aku ditanya siapa orang yang paling pemberani di kalangan pasukan kita, niscaya akan ku sebutkan namamu tanpa ragu-ragu lagi. Tapi, mengapa engkau begitu gelisah dan cemas?”

“Aku mendapati diriku berada di antara Neraka dan Syurga, dan aku harus memilih di antara keduanya. Demi Allah, aku tidak akan memilih selain Syurga, meskipun tubuhku akan dipotong-potong atau dibakar menjadi abu.”

Penciptaan Hurr-pun disempurnakan dan api keraguan telah membawanya kepada kebenaran yang pasti. Dengan perlahan-lahan dia menghampiri kubu Husain. Dan setelah dekat dia lalu menggantungkan kedua sepatunya di lehernya dan merendahkan perisainya (sebagai tanda penyesalan).

“Akulah orang yang telah menutup jalanmu, wahai Husain,” katanya. Dan dia menolak ajakan Husain untuk beristirahat sejenak. Dia sudah tak sabar lagi.

“Apakah ada taubat bagiku?” tanyanya. Dan dia tidak dapat menunggu jawaban atas pertanyaannya itu. Dia langsung maju ke depan dan menyerang pasukan Umar dengan kata-kata yang paling pahit dan pedas, untuk menunjukkan kepada bekas tentera dan komandannya bahawa dia bukan lagi seorang budak, melainkan seorang merdeka, seorang “Hurr”.

Umar bin Sa’ad, bekas komandannya, menanggapinya dan menembakkan sebatang anak panah, seraya berseru: “Saksikanlah dan biarkanlah Amirul Mukminin tahu bahawa akulah orang pertama yang menembakkan panah kepada tentera Husain!”

Dan demikianlah pertempuran Karbala dimulai...


 

Muthahhari

Abu Muhammad10:30am 07 September 2005


As-Syahid Murtadha Muthahhari adalah antara kalangan kecil ulama’ yang berjaya memadukan ciri-ciri keulamaan dan keintelektualan dalam satu keperibadian – di mana beliau bukan sekadar mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional, malah turut fasih berbicara tentang mazhab-mazhab pemikiran Barat, lebih-lebih lagi tentang Bertrand Russell.


Memang, ini satu kelebihan yang mengagumkan. Tidak ramai tokoh yang boleh berjuang, tetapi dalam masa yang sama menekuni pelbagai displin ilmu, dan Muthahhari adalah salah seorang darinya. Dan, hampir sebahagian besar waktu hidup dihabiskan demi merealisasikan sebuah negara yang bercitrakan Islam.


Muthahhari, dilahirkan pada tanggal 2 Februari 1919 dari kelompok keluarga alim di daearah Khurassan. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad Husayn Muthahhari adalah seorang ulama’ yang dihormati lagi disegani oleh masyarakat setempat. Sejak menjadi siswa di Qum, Muthahhari sudah menunjukkan minatnya pada falsafah dan ilmu pengetahuan moden. Di Qum, Muthahhari menuntut di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini.


Dalam falsafah, beliau amat terpengaruh dengan pemikiran Allamah Thabathaba’i. Muthahhari begitu tekun dan pantas menguasai - dalam mempelajari ilmu-ilmu falsafah. Buku-Buku yang ditulis oleh William Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich Fromm dan para pemikir Barat yang lainnya telah ditelaahnya dengan serius.


Keseriusan Muthahhari dalam menelaah pemikiran Barat bukan kerananya malu-malu untuk menonjolkan pemikiran Islam, sebaliknya, Muthahhari cuba melakukan studi perbandingan antara pemikiran Islam dan Barat. Lihat, banyak terminologi Islam telah dikupas olehnya, sehingga menyerlahkan lagi keupayaan Islam bagi menawarkan pemikiran alternatif.


Muthahhari, pada usia relatif yang masih muda, sudah mampu menurunkan ilmu logik, falsafah dan fiqh di Fakulti Teologi, Universiti Teheran. Dan, dalam waktu yang sama, beliau turut menjawat sebagai Ketua Jurusan Falsafah. Disamping itu, beliau tidak kekok untuk menyampaikan kuliah dalam bidang yang berbeza seperti kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam dan kuliah al-Irfan.


Dengan ufuk ilmu ini, Muthahhari langsung tidak memilih keselesaan hidup, meskipun beliau ada pilihan. Baginya, badai (perjuangan) lebih bermakna daripada damai (keselesaan hidup). Justeru, beliau menterjemahkan gagasan-gagasannya melalui gerak kerja aktivis dan menulis buku-buku.


Keaktifan beliau telah berjaya membentuk kombinasi ampuh bersama-sama dengan Ruhollah Khomeini - dalam kerangka menentang regim Shah Pahlevi yang zalim. Ekoran dari itu, Muthahhari telah ditahan pada 1963 ekoran implikasi langsung dari peristiwa Khordad.


Manakala, ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, Muthahhari di amanahkan untuk memangku kepimpinan gerakan rakyat Iran serta memobilisasikan para ulama’ dalam melanjutkan semangat perjuangan Islam yang dirintis oleh Ruhollah Khomeini. Langkah-langkah politiknya jelas sekali sangat tersusun dan mengugat. Muthahhari (bersama-sama Ali Shariati) turut mendirikan Husainiyyah-I-Irsyad yang menjadi pangkalan kebangkitan intelektual Islam sebelum revolusi. Di samping itu, Muthahhari yang juga Imam Masjid al-Jawad, konsisten menggalang dukungan rakyat Iran bagi menyuarakan simpati pada perjuangan Palestin.


Pasca kemenangan Revolusi Iran 1979, Muthahhari telah dilantik menjadi anggota Dewan Revolusi. Karekteristik yang menonjol pada diri Muthahhari telah menjadinya sebagai seorang ulama yang dinamik - bersandarkan penguasaan ilmu-ilmu Islam, moden serta menatijahkannya dalam dunia aktivisme.


Akhirnya pada 2 Mei 1979, Muthahhari dipanggil pulang dengan percikan darah sebagai seorang syuhada, angkara tangan-tangan ghaib kelompok ‘Munafiqqin Khalq’. Hari ini, tanpa Muthahhari sekalipun, ilmu-ilmunya masih tetap memancar mengukuhkan lagi khazanah keilmuan Islam. Muthahhari, terima kasih!


Thursday, November 17, 2005

 

Media Massa Dan Peranan

AS terus berkuasa mengawal media massa, elektronik & media cyber

"Jika dilihat sekitar awal penaklukan Afghanistan, media massa berterusan menuduh Osama Laden adalah perancang utama serangan ke atas WTC walaupun beliau menafikan terlibat. Begitu juga awal penaklukkan Iraq, media seperti CNN terus menerus menyampaikan maklumat ke seluruh pelusuk dunia menuduh Iraq memiliki senjata pemusnah besar-besaran yang boleh mengancam keamanan dunia. Gambaran tentera Iraq berpecah, menyerah diri, pusat komunikasi penting dihancurkan sudah meletakkan AS berada dihadapan dalam situasi perang tersebut.

Susulan daripadanya maka dicipta pengganas antarabangsa dan keadaan ini secara otomatik sebagai mesej meminta negara-negara lain bersatu memerangi pengganas khususnya terhadap Islam. Mana-mana negara yang tidak disukai dan tiada memberi kerjasama akan diwujudkan fitnah sepertimana mereka menuduh Korea Utara, Iran dan Iraq sebagai paksi kejahatan.

Banyak negara-negara barat yang dulu rakyatnya begitu aman harmoni boleh duduk dengan berbagai fahaman agama kini mula syak wasangka jahat terhadap orang Islam. Bagi menarik negara-negara Islam turut serta memerangi pengganas maka diwujudkan aliran aktiviti pengganas seperti serangan bom di Indonesia, Arab Saudi, Turki, Jordan, Pakistan dan ini akan berterusan sehingga matlamat konspirasi mereka tercapai. Manakala negara-negara bukan Islam yang memiliki minoriti orang Islam yang tinggal di kawasan-kawasan tertentu akan dituduh sarang pengganas sepertimana berlaku di Thailand, Filipina, India, Australia dan lain-lain negara.

Persoalannya apakah usaha negara-negara anggota OIC untuk memadamkan dan menepis fitnah yang dilakukan oleh AS terhadap Islam? Adakah OIC pengecut dan hanya sekadar pemerhati kepada peristiwa yang berterusan dilakukan oleh AS dan sekutunya? Banyak bukti-bukti peristiwa 11 September ini telah dirancang oleh pihak AS sendiri namun maklumat ini masih gagal untuk menembusi tembok media seluruh dunia yang terus dikuasai AS. Begitu juga tragedi awal pengeboman di Bali dimana pihak penyiasat Indonesia mengesahkan bahawa bom yang meletup di Bali adalah dari jenis ‘C4’ yang hanya dimiliki oleh negara AS dan
sekutu-sekutunya. Manakala tragedi bom di Amman, Jordan yang berlaku baru-baru ini telah dirancang untuk mewujudkan adanya aktiviti pengganas dinegara tersebut.

Kini AS terus melatih negara-negara yang bukan Islam yang ingin turut serta dalam memerangi pengganas Islam. Pemikiran mereka bagaimanakah mewujudkan perang terhadap Islam? Jawapannya lihatlah Thailand. Jika kekuasaan AS terhadap media massa dan elektronik ini dapat dikurangkan sudah pasti AS akan menghadapi tekanan daripada seluruh penduduk dunia dan pengganas-pengganas sebenar dapat dikurangkan dan dibenteras. Pemimpin-pemimpin negara Islam dituntut bertanggungjawab untuk meletakkan dan memelihara semula Islam yang dikenali sejak zaman para nabi sebagai agama yang menegakkan keadilan, keamanan dan kesejahteraan kepada seluruh umat manusia di mukabumi ini. "


 

Rioting In France

 

Letupan di Jordan

Israel disyaki dalang serangan bom di Jordan

AMMAN: Serangan bom ke atas ke atas tiga hotel mewah Barat di Jordan Rabu lalu yang mengakibatkan sekurang-kurangnya 57 orang terbunuh didakwa dilakukan ejen perisik Israel yang mahu membunuh ketua perisikan Palestin.


Serangan yang digembar-gembur dilakukan oleh kumpulan Musab al-Zarqawi yang identitinya masih samar dan dikatakan mempunyai kaitan dengan al-Qaeda itu, turut mengakibatkan lebih 100 terbunuh.

Akhbar Amerika Syarikat, Los Angeles Times baru-baru ini melaporkan, sebelum letupan berlaku, badan perisikan Israel, Mossad, mengeluarkan amaran kepada Zionis supaya meninggalkan Jordan.
Akhbar itu memetik bekas pegawai kanan antikeganasan Israel, Amos N Guiro sebagai berkata, sumber di Israel memaklumkan kepada beliau mengenai arahan supaya semua rakyat Israel meninggalkan lokasi sasaran.

Dalam serangan berkenaan, Ketua Perisikan Tentera Israel, Mejar Jeneral Bashir Nafeh dan Jihad Fattouh, adik kepada Speaker Parlimen Palestin, terbunuh ketika dalam perjalanan pulang ke Palestin dari Mesir, kata pegawai kanan Palestin, Saeb Erekat.

Bagaimanapun, kebanyakan pelancong Barat yang dikatakan menjadi sasaran serangan kumpulan pejuang Iraq itu, terselamat dalam letupan itu.

Akhbar Yahudi di Israel, Haaretz, turut melaporkan, semua rakyat Israel di Hotel Radisson dipindahkan sebelum serangan berlaku dan diiringi pulang ke Israel atas alasan ancaman keselamatan khusus.

Haaretz turut memetik kenyataan Guiro yang kini menjadi Ketua Institut Undang-Undang dan Dasar Keselamatan, Universiti Case Western Reserve, Cleveland sebagai berkata, kebiasaannya apabila Mossad mensasarkan seseorang, mereka akan memberi amaran awal kepada Yahudi supaya keluar dari lokasi sasaran.

Bagaimanapun, LA Times melaporkan, Haaretz kemudian menarik balik laporan ini tetapi Times bertegas mempertahankan laporannya dengan menyatakan Guiora mendapat maklumat bebas mengenai perkara itu. – Agensi

Semalam, agensi berita arus perdana dunia menyiarkan soal siasat ke atas rakyat Iraq Sajida Mubarak al-Rishawi, 35, yang mengakui beliau bersama suaminya serta beberapa yang lain melakukan serangan ke atas Jordan dalam operasi kumpulan pejuang Iraq di bawah pimpinan Zarqawi. – Agensi

Wednesday, in Amman, Jordan on Wednesday, Nov. 16, 2005. Jordanian Prime  Minister Adnan Badran said the would-be Iraqi woman suicide bomber was arrested  in the northeastern city of Salt, not Amman, where she sought help from some  relatives. (AP Photo/Nader Daoud)Jordan's Princess Basma Bint Talal attends a rally outside the Radisson SAS  hotel in Amman November 16, 2005. Almost two thirds of Jordanians have changed  their views of al Qaeda for the worse following suicide bombings against Amman  hotels that killed more than 50 people last week, a poll said on WednesdayA screen grab shows Sajida al-Rishawi, who confessed on Jordanian TV to trying  to blow herself up at a hotel in Amman, showing how she strapped a device to her  body, November 13, 2005. REUTERS/JTV


Sajida Rishawi was meant to become a poster girl for suicide terror. But she is inspiring revulsion, not veneration, Jordan and beyond. The 35-year-old Iraqi woman from the restive Sunni city of Ramadi had traveled to Jordan intending to be the fourth bomber in last week's suicide attacks on hotels in Amman. Instead, Jordanian sources tell TIME, she was arrested Sunday morning in the historic city of Salt, after fleeing the Radisson SAS hotel and making her escape by taxi. The sources say that she headed for the western Jordanian city, known for its radical Islamists, in search of shelter with the kin of her sister, whose Jordanian husband—an al-Qaeda explosives expert—was killed in a U.S. strike on the Iraqi city of Falluja in 2004. Bad move: The Jordanian sources say a member of the clan snitched, alerting police to her whereabouts.


In a chilling performance aired on Jordan's Channel 1 only hours later, Rishawi twirled her body around as she modeled the hand-made explosives belt that she tried but failed to detonate in the hotel's ballroom on November 9. As if in a trance, she then coldly recounted the plan. “There was a wedding at the hotel, with children, women and men inside,” she said, explaining the choice of target. Her husband then took one corner of the ballroom, she took another. “I tried to explode [my belt] but it wouldn't,” she said. But Rishawi's husband managed to detonate, causing the massive blast that killed dozens of wedding guests. The three coordinated hotel attacks left 58 people dead and about 100 wounded.


Al-Qaeda in Iraq apparently expected the bombers to be celebrated for their deeds. Jordan's largely Sunni Muslim population, after all, has been strongly sympathetic to the Sunni insurgency in Iraq, which it has viewed as leading the resistance against American and other foreign forces. (After the bombings, Kuwaiti commentator Ahmed Rabi scolded the Jordanian media for its past “defense of the black violence in Iraq.”) In justifying the slaughter, a statement from Abu Musab al Zarqawi, al-Qaeda's Jordanian-born leader in Iraq, explained that the Amman hotels were targeted because they were “used as a garden for the Jews and Christians… as a base for infidel intelligence forces who are conspiring against Muslims.”


This time, however, Jordanians weren't buying the propaganda. The hotel attacks, says Ali Shukri, a longtime advisor to the late King Hussein, were “not a rude awakening, but a bloody awakening” for the many Jordanians who have shown sympathy for Zarqawi's gruesome acts in the past. “It's come back to haunt them,” says Shukri. “Most people will swing 180 degrees.”

Jordanian Ashraf Akhras, who's wedding at the Radisson SAS hotel in Amman,  Jordan turned into a deadly nightmare by a suicide bomber who blew himself up  Wednesday night, gestures outside the Radisson hotel Monday, Nov.14, 2005. In an  interview with The Associated Press, Akhras, spoke bitterly about the terrorists  who blew up his wedding in the name of Islam. (AP Photo/Amr Nabil) A masked Jordanian man takes part in a rally outside the Grand Hyatt hotel, one  of three hotels bombed last Wednesday, in central Amman November 13, 2005.  Jordan has arrested an Iraqi woman who failed in her attempt to carry out a  suicide bombing alongside her husband at an Amman hotel last week, officials  said on Sunday. (Ali Jarekji/Reuters) Jordanian students shout slogans during a rally at Jordanian University to show  their solidarity with the King and the government in Amman, November 14, 2005.  An Iraqi woman confessed on Jordanian television on Sunday that she had tried to  blow herself up alongside her husband in an Amman hotel last week in one of  three attacks that killed more than 50 people. REUTERS/Ali Jarekji Soldiers carry the portraits of the three Chinese victims of the Amman bombings  at a funeral held at the Babaoshan Revolutionary Cemetery in Beijing, November  14, 2005. Three Chinese were killed Wednesday evening in the bomb attacks at  three hotels in Amman, Jordan. The victims, identified as Sun Jingbo, Pan Wei  and Zhang Kangping at the age of 41, 44 and 42, respectively, were members of a  delegation from China's University of National Defense. CHINA OUT REUTERS/China  Newsphoto

There's no poll data yet to back up Shukri's assessment, but anecdotal evidence is adding up: Thousands of guardanians took to the streets over the weekend, waving Jordanian banners, rather than burning American and Israeli flags, and voicing outrage against Zarqawi's terrorism. Among the first to condemn the hotel attacks was the Muslim Brotherhood, Jordan's most influential fundamentalist group. “What jihad is this,” asked Jordanian columnist Taher Adwan, “when a young Arab man enters a hall where a wedding of Jordanian citizens is taking place to inflict the heaviest losses in life?” A similar local backlash against terrorism occurred when al-Qaeda attacks killed civilians in Saudi Arabia, Morocco and Egypt.


King Abdullah II, in a nationally televised address, warned Zarqawi's network that Jordan would “pursue them wherever they are and smoke them out of their holes.” In parading Rishawi before the cameras, Abdullah also showed that he intends to go head-to-head with the terrorists in the battle for Jordanian hearts and minds. Rishawi has an extremist pedigree—not only her brother-in-law, but also her own brother, another Zarqawi acolyte, died at Falluja. But before a TV audience of millions throughout the Arab world, she struck a pathetic figure. It turns out that she was married only two weeks ago during an Islamic holiday, embarking not on a honeymoon, but on a dance of death with her own groom. Zarqawi's group lauded Rishawi as one of “the lions from our best and most honored brigade.” But to Amman writer Nasuh Majali, and many other Jordanians, she is one of “the enemies of the Arabs and Muslims.”

--With additional reporting from Saad Hattar/ Amman


Iran: Israel behind Jordan terror attack
Islamic republic blames Jews in spite of al-Qaida's boasting
Posted: November 15, 20058:37 a.m. Eastern
By Aaron Klein© 2005 WorldNetDaily.com
Jordanian police inspect a room at the Radisson Hotel, one of the three hotels  hit in a string of deadly suicide attacks in Amman on November 10. Jordanian  authorities said an Iraqi woman who confessed to taking part in a suicide  bombing operation against Amman hotels has told them three of her brothers were  killed by US forces in Iraq.(AFP/File/Ramzi Haidar) Iraqi Sajida Mubarek Atrous al-Rishawi. (AP/Jordanian TV) A picture of the destruction at the Radisson Hotel in Amman 10 November, a day  after a deadly attack claimed by Al Qaeda. US Secretary of State Condoleezza  Rice paid a solidarity visit to Amman as Jordanians asked if they were paying  the price for close US ties following suicide bombings blamed on Islamic  militants(AFP/File/Ramzi Haidar) In this image released by the Jordanian Palace U.S. Secretary of State  Condoleezza Rice meets Jordan's King Abdullah Monday Nov. 14, 2005 at the Royal  Palace in Amman Jordan. Rice, who flew from Jerusalem to Amman, expressed  condolences for the families of the victims of the hotel bombings. ( AP  Photo/Yousef Allan ) This image made from television shows Iraqi Sajida Mubarek Atrous al-Rishawi  opening her jacket and showing an explosive belt as she confesses on Jordanian  state-run television Sunday Nov. 13, 2005 to her failed bid to set off an  explosives belt inside one of the three Amman hotels targeted by al-Qaida.  Fifty-seven people were killed on Wednesday's attack on three Amman hotels. It  can not be confirmed that this is the actual belt used in the failed attempt on  Wednesday . (AP Photo/Jordanian TV)
Despite admissions by Iraq-based al-Qaida leader Abu Musab al-Zarqawi and a would-be Iraqi female suicide bomber, Iran says Israel was responsible for the deadly blasts that killed 57 people last week at three hotels in Jordan.

"The explosions in Jordan are a suspicious matter. Most probably the Zionist regime (Israel) was behind them," Iranian foreign ministry spokesman Hamid Reza Asefi told reporters yesterday.


"It was a bitter incident. We condemned it and our foreign minister (Manouchehr Mottaki) has phoned his Jordanian counterpart (Faruq al-Kasrawi), to sympathize with the families of the victims and condemn the terrorist acts," Asefi added.


The bombings at the American-owned Radisson SAS, Grand Hyatt and Day's Inn hotels shook Amman last Wednesday and prompted Jordanian demonstrations against al-Qaida.


Zarqawi, who took credit for the attack in several statements claiming the hotels were used by "American and Israeli spies," had long attempted to attack his native Jordan. The al-Qaida deputy served seven years in a Jordanian prison on charges of trying to overthrow the country's monarchy. Soon after his release, Zarqawi was charged with plotting to attack the same Radisson hotel hit last week before New Year's Day in 2000.


Former U.S. president Bill Clinton (L) and his wife U.S. Senator Hillary Clinton  visit the Radisson SAS hotel in Amman November 13, 2005. The hotel was one of  the three hotels bombed last Wednesday. Jordan has arrested an Iraqi woman who  failed in her attempt to carry out a suicide bombing alongside her husband at an  Amman hotel last week, officials said on Sunday. REUTERS/Ali Jarekji Jordanians on Sunday, Nov.13, 2005, watch TV at a coffee shop in Amman, Jordan,  showing Sajida Mubarak Atrous al-Rishawi who failed to detonate her explosives  inside one of the hotels blown up by three other al-Qaida cell members,  including her husband. Jordanian police said Sunday that they've captured the  Iraqi woman, Sajida, who had admitted her part in the bombings. (AP Photo/Amr  Nabil) An undated file picture of the Iraq-based Jordanian fugitive Abu Musab  al-Zarqawi, whose Al-Qaeda group claimed responsibility for the suicide bombings  in Amman last week. A week after the devastating hotel bombings in Jordan that  shook one of the most stable Arab countries, King Abdullah II has replaced his  top security advisor and is preparing a tough new anti-terror law.(AFP/File )Jordanian authorities said an Iraqi woman who confessed to taking part in a  suicide bombing operation against Amman hotels has told them three of her  brothers were killed by US forces in Iraq.(AFP/HO/Yussef Allan)


The Jordanian government sentenced Zarqawi to death in absentia early last year for his alleged involvement in the October 2002 murder of U.S. diplomat Lawrence Foley in Amman. And in October 2004, he was indicted, along with 12 others, on charges related to a planned chemical attack against the Jordanian General Intelligence Department.


The Iranian comments come despite a confession by would-be suicide bomber Sajida Mabruk Atrous Rishawi, who was caught wearing an explosive belt before the attacks. Rishawi admitted on Jordanian television she and her husband intended to attack the Radisson. Her husband was killed when he detonated his suicide belt.


"My name is Sajida Mabruk Atrous Rishawi, born in 1970 in Ramadi. I entered Jordan on November 5 with falsified Iraq passports in which the name of my husband was Ali Hussein Ali and mine was Sajida Abdel Kader Latif," she said, wearing a white headscarf and a black coat.


Rishawi said she entered the Radisson with her husband, and "we each took up a corner. He managed to blow himself up, I tried but I could not. I saw the people run and flee the hotel and ran out just like them."

Rishawi described how her husband organized their trip from Iraq to Jordan.

"A white car with a driver and a man sitting up front drove us to Jordan. My husband was the one who organized our traveling. I didn't have anything to do with it. ... In Jordan we rented a flat," she said.


Rishawi said her husband "had two detonator belts. He put one on me and he put one around himself and taught me how to work it so that we [could] execute [the operation] in hotels in Jordan." Iran's comments about the bombing are the latest anti-Israel statements to come from Tehran. Iranian President Mahmoud Ahmadinejad received international condemnation last month when he called for the Jewish state to be "wiped off the map."

Aaron Klein is WorldNetDaily's Jerusalem bureau chief, whose past interview subjects have included Yasser Arafat, Ehud Barak, Mahmoud al-Zahar and leaders of the Taliban.



Penipuan dalam laporan bom di Jordan

Terdapat banyak masalah dengan laporan rasmi mengenai letupan bom di Jordan yang dikatakan dilakukan oleh pengebom berani mati.
Gambar kerosakan bangunan hotel tersebut menunjukkan bukti bahawa bom tersebut telah diletak di siling. Oleh itu ia bercanggah dengan laporan rasmi yang mengatakan bahawa pengeboman tersebut dilakukan oleh pelawat dari Iraq, yang agak mustahil mendapat peluang untuk meletakkan bom tersebut (berapa banyakkah tip yang diberikan kepada bellboy semasa beliau membawa masuk bahan letupan tersebut ke dalam hotel. Laporan rasmi hendaklah diubah untuk menafikan bahawa ia adalah bom siling. Jika benar ia dilakukan oleh pengebom berani mati, kenapa siling yang dua belas kaki dari lantai mengalami kemusnahan yang teruk, tetapi lantai yang selari dengan bom yang dikatakan tidak terjejas sedikitpun?

Jordan dikatakan telah menemui saksi, isteri kepada salah seorang yang dikatakan pengebom berani mati. Malangnya, berita yang dilaporkan oleh Associated Press tidak jelas (Muasher ialah Timbalan Perdana Menteri Jordan Marwan Muasher):

"Al-Rishawi telah ditunjukkan melalui TV negeri tersebut memakai tudung berwarna putih, berbaju denim berwarna gelap dan bertalipinggang yang dipenuhi dengan TNT dan ball bearing. Muasher memberitahu CNN bahawa talipinggang tersebut diambil daripada wanita tersebut.

Al-Rishawi berkata beliau dan suaminya, Ali Hussein Ali al-Shamari, 35, memakai talipinggang tersebut semasa mereka memasuki ke dalam dewan Radisson ballroom dimana beratus-ratus tetamu, termasuk kanak-kanak sedang menghadiri majlis perkahwinan di antara rakyat Jordan dengan rakyat Palestin.

'Suami saya memakai talipinggang tersebut dan meletakkan satu kepada saya. Beliau mengajar saya bagaimana untuk menggunakannya, bagaimana untuk menarik pin dan melaksanakannya,' katanya lagi.

'Suami saya meletupkan bomnya. Saya cuba meletupkan bom saya tetapi tidak berhasil. Saya lari keluar, orang ramai melarikan diri dan saya melarikan diri di tengah-tengah mereka.'

Muasher berkata suami al-Rishawi melihat beliau bertungkus lumus lalu menolaknya keluar dari dari dewan tersebut bertujuan untuk tidak menarik perhatian sebelum meletupkan dirinya."

Menolaknya keluar dari dewan tidak menarik perhatian? Jika beliau telahpun berada diluar, bagaimana boleh beliau berlari keluar bersama-sama orang ramai yang melarikan diri daripada bom?

Berikut adalah berita yang sama dari al-Jazeera yang memetik kata-kata isteri:

"'Kami pergi ke hotel. Dia (suami saya) mengambil satu sudut dan saya mengambil satu sudut. Terdapat majlis
perkahwinan dalam hotel tersebut. Terdapat juga wanita dan kanak-kanak' katannya.

'Suami saya meletupkan bomnya dan saya cuba meletupkan bom saya, tetapi gagal. Orang ramai melarikan diri dan saya turut melarikan diri bersama-sama mereka.'"

Adakah suaminya menolak beliau keluar sebelum meletupkan bomnya atau tidak? Kenapa beliau mahu melakukannya? Kenapa tidak terus meletupkannya sahaja? Kenapa tiba-tiba beliau takut isterinya mungkin akan terbunuh dalam letupan sedangkan beliau yang memakaikan talipinggang kepada isterinya.

Cerita dari Jordan bagaimana mereka menemuinya tidak masuk akal langsung samada (dari cerita Associated Press story):

"Al-Rishawi telah ditangkap pada pagi hari Ahad di 'rumah selamat' di pinggir bandar Amman di mana suaminya dan dua lagi pengebom menyewa rumah tersebut," kata pegawai tinggi keselamatan Jordan.

Keselamatan Jordan telah mendapat tip tentang kehadirannya dari al-Qaeda di Iraq yang mendakwa tentang pengebom wanita, tambah pegawai tersebut, yang tidak mahu identitinya didedahkan. Kumpulan tersebut menganggap beliau telah terbunuh dalam kejadian tersebut.

Bagaimanakah dakwa bahawa terdapat seorang pengebom wanita boleh memberikan cukup maklumat kepada pegawai keselamatan untuk menangkapnya di 'rumah selamat' kecuali mereka tahu di mana rumah selamat itu?

Kenapa pejuang yang menentang penjajahan Amerika di Iraq memutuskan untuk bercuti dan meletupkan dirinya di Jordan? Tidakkah lebih baik mereka melakukannya di Iraq?

Kenapa seorang pejuang Sunni di Iraq tergesa-gesa ke Jordan untuk meletupkan diri dalam satu majlis perkahwinan seorang Sunni yang lain di hotel. Tiadakah mereka sasaran lain yang lebih baik? Bercakap mengenai sasaran, betapa bertuahnya kerana dapat membunuh sejumlah pegawai Palestin, termasuk ketua perisikan Palestin dan juga berjaya membunuh pegawai pertahanan China yang akan mengadakan pertemuan dengan pegawai Palestin. Bagi sekumpulan pengebom yang baru datang ke bandar tersebut, bagaimana mereka mengetaui sasaran yang tepat?


 

Hikmah Haji

Seorang murid Ali Zainal Abidin bernama asy-Syibli, pergi menemuinya setelah selesai melaksanakan ibadah haji bagi menyampaikan padanya apa-apa yang dialaminya selama itu. Maka inilah perbicaraan di antara keduanya.

"Wahai Syibli, bukankah anda telah selesai mengerjakan ibadah haji?"

"Benar, wahai putra Rasulullah".

"Apakah anda telah berhenti di Miqat lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit yang terlarang bagi orang yang sedang mengerjakan haji dan kemudian mandi.. . ?"


"Ya, benar ... .?"

"Adakah anda ketika berhenti di Miqat juga meneguhkan niat untuk berhenti dan menanggalkan semua pakaian maksiat dan, sebagai gantinya, mengenakan pakaian taat?"


"Tidak .. . ."


"Dan pada saat menanggalkan semua pakaian yang teriarang itu, adakah anda menanggalkan dari diri anda semua sifat riya', nifaq, serta segala yang diliputi syubhat ....?"

"Tidak ..."

"Dan ketika mandi dan membersihkan diri sebelum memulai ihram, adakah anda bemiat mandi dan membersihkan diri dari segala pelang-garan dan dosa-dosa?"


"Tidak ...."


"Kalau begitu, anda tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian yang terjahit dan tidak pula mandi membersihkan diri ..!"


Kemudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:


". . . .Dan ketika mandi dan berihram serta mengucap niat untuk memasuki ibadah haji, adakah anda menetapkan niat untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada Allah swt.... ?"

"Tidak ...."

". . . . Dan pada saat niat berihram, adakah anda berniat mengharamkan atas diri anda segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla...?"


"Tidak ...."

. . . Dan ketika mulai mengikat diri dalam haji, adakah anda, pada waktu yang sama, melepaskan juga segala ikatan selain bagi Allah?"


Tidak ...."

"Kalau begitu, anda tidak membersihkan diri, tidak berihram, dan tidak pula mengikat diri dalam Haji... .!" Kmudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:


Bukankah anda telah memasuki Miqat, lalu solat Ihram dua rakaat, dan setelah itu mulai rukan talbiah?


Ya,…benar..."

Apakah ketika memasuki Miqat anda meniatkannya sebagai ziarah menuju keridhaan Allah . . ?"

Tidak .. ."

. . Dan ketika shalat Ihram dua rakaat, adakah anda berniat mendekatkan diri, bertaqarrub kepada Allah dengan mengerjakan suatu amal yang paling utama di antara segala macam amal, shalat yang juga merupakan kebaikan yang di antara kebaikan-kebaikan yang dikerjakan hamba-hamba Allah swt......?"

Tidak...."

. . Kalau begitu, anda tidak memasuki Miqat, tidak bertalbiah, dan tidak shalat Ihram dua rakaat!"


Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

"Apakah anda telah memasuki Masjidil Haram, dan memandang Ka'bah, serta shalat di sana ... ?"

"Ya ..., benar..."


"Ketika memasuki Masjidil Haram, adakah anda berniat mengharamkan atas din anda, segala macam pergunjingan terhadap diri kauni muslimin .. . ?"

"Tidak .. .."


". . . . Dan ketika sampai di kota Makkah, adakah anda mengukuhkan niat untuk menjadikan Allah swt. sebagai satu-satunya tujuan ... ?"


"Tidak . . .."

". . Kalau begitu, anda tidak memasuki Masjidi Haram, tidak memandang Ka'bah, dan tidak pun bershalat di sana . . .!"


Dan beliau melanjutkan lagi:

Apakah anda telah bertawaf mengeliling Ka'bah. Baitullah, dan telah menyentuh rukun rukunnya?"


"Ya..."

". . .Pada saat bertawaf, adakah anda bernia berjalan dan berlari menuju keridhaan Allah Yani Maha Mengetahui segala yang ghaib dan tersembunyi?"


'Tidak .. ."

"Kalau begitu .. ., anda tidak bertawaf mengelilingi Baitullah, dan tidak menyentuh rukun-rukunnya.

Dan beliau melanjutkan pertanyaannya:


"... Dan apakah anda telah berjabatan (bersalam tangan) dengan Hajar Aswad, dan berdiri - bershalat di tempat Maqam Ibrahim?"


Ya . . . !"


Mendengar jawaban itu, Ali Zainal Abidin tiba-tiba berteriak, menangis dan meratap, dengan suara merawankan hati seperti hendak meninggalkan hidup ini, seraya berucap:


"Oh, ... oh,... Barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabatan tangan dengan Allah swt.! Oleh karena itu, ingatlah baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara, janganlah sekali-kali berbuat sesuatu yang me-nyebabkan engkau kehilangan kemuliaan-agung yang telah kaucapai, dan membatalkan kehormatan itu dengan pembangkanganmu terhadap Allah dan mengerjakan yang diharamkanNya, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa ....!"

Kemudian beliau berkata lagi:

"Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, adakah anda mengukuhkan niat untuk tetap berdiri di atas jalan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala maksiat. ..?"


"Tidak . . ."

"... Dan ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim adakah anda berniat mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. dalam shalat beliau, serta menentang segala bisikan syaitan?"
"Tidak..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, dan
tidak pula shalat dua rakaa di dalamnya..."


Dan beliau melanjutkan lagi:

"Apakah anda telah mendatangi dan memandangi sumur Zamzam dan minum airnya ...?'

"Ya...."

"Apakah anda, pada saat memandangnya berniat menujukan pandangan anda kepada semua bentuk kepatuhan kepada Allah, serta memejamkan mata terhadap setiap maksiat kepadaNya?


"Tidak ..."

"Kalau begitu ..., anda tidak memandanginya dan tidak pula minum airnya ...!"

Selaujutnya beliau bertanya lagi:

". . . Apakah anda telah mengerjakan Sa'i antara Shafa dan Marwah, dan berjalan pulang pergi antara kedua bukit itu?"


"Ya ...., benar."


"Dan pada saat-saat itu, anda menempatkan diri anda di antara harapan akan rahmat Allah dan ketakutan menghadapi azabNya ...?"

"Tidak..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak mengerjakan Sa'i dan tidak berjalan pulang-pergi antara keduanya!"

Lalu beliau bertanya:

"Anda telah pergi ke Mina ... ?"

"Ya..."

"Ketika itu, adakah anda menguatkan niat akan berusaha sungguh-sungguh agar semua orang selalu merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tangan anda sendiri ... ?"


"Tidak ...."

"Kalau begitu, anda belum pergi ke Mina! Dan ..., anda telah berwuquf di Arafat. .. ? Men-daki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta menghadapkan doa-doa kepada Allah swt. di bukit-bukit as-Shakharaat... ?"

"Ya...benar..."

"Ketika berdiri — wuquf di Arafat, adakah anda dalam kesempatan itu, benar-benar menghayati ma'rifat akan kebesaran Allah swt. serta mendalami pengetahuan tentang hakikat ilmu yang akan menghantarkanmu kepadaNya? Dan apakah ketika itu anda menyadari benar-benar betapa Allah Yang Maha Mengetahui meliputi segala perbuatan, perasaan, serta kata-kata hati sanubari anda ... r


"Tidak ..."

Dan .... ketika mendaki Jabal Rahmah, adakah anda sepenuhnya mendambakan rahmah Allah bagi setiap orang mukmin, serta mengharapkan bimbinganNya atas setiap orang muslim?"


"Tidak . . .."

"Dan ketika berada di Wadi Namirah, adakah anda berketetapan hati untuk tidak mengamarkan (memerintahkan) sesuatu yang ma'ruf, sebelum anda mengamarkannya pada diri anda sendiri? Dan tidak melarang seseorang melakukan sesuatu, sebelum anda melarang diri sendiri ....?"


"Tidak ...."


"Dan ketika berdiri di bukit-bukit di sana, adakah anda menyadarkan diri bahwa tempat itu menjadi saksi atas segala kepatuhan pada Allah, dan mencatatnya bersama-sama para Malaikat pencatat, atas perintah Allah, Tuhan sekalian lelangit?"


"Tidak ...."


"Kalau begitu . . . , anda tidak berwuquf di Arafat, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, dan tak pula berdoa di tempat-tempat itu .. . !"

Dan Ali Zainal Abidin bertanya lagi:


"Apakah anda telah melewati kedua bukit al-Alamain, dan mengerjakan dua rakaat shalat sebelumnya, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah; memungut batu-batu di sana, kemudian melewati Masy'arul'Haram. . . ?"

"Ya. . ."

"Dan ketika shalat dua rakaat, adakah anda meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang tanggal sepuluh Dzul-Hijjah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan?"


"Tidak ..."


"Dan ketika lewat di antara kedua bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, adakah anda saat itu meneguhkan niat untuk tidak bergeser (menyeleweng) dari Agama Islam, agama yang haqq, baik ke arah kanan atau pun kiri…..,tidak dengan hatimu, tidak pula dengan lidahmu, atau pun dengan semua gerak-gerik anggota tubuhmu yang lain?"

"Tidak ..."


". . . Dan ketika menuju Muzdalifah, dan me-mungut batu-batu di sana, adakah anda berniat membuang jauh-jauh dari dirimu segala macam maksiat dan kejahilan terhadap Allah swt, dan sekaligus menguatkan hatimu untuk tetap mengejar ilmu dan amal yang diridhai Allah ....?"

"Tidak .. "

"Dan ketika melewati al-Masy'arul-Haram, adakah anda mengisyaratkan kepada diri anda sendiri, agar bersyi'ar seperti orang-orang yang penuh takwa dan takut kepada Allah Azza wa Jalla ...?"

"Tidak .. ."

"Kalau begitu . . . , anda tidak melewati 'Alamain, tidak shalat dua rakaat, tidak berjalan ke Muzdalifah, tidak memungut batu-batu di sana, dan tidak pula lewat di Masy'ar-ul-Haram…!'

Dan beliau melanjutkan:

"Wahai Syibli, apakah anda telah mencapai Mina, melempar Jumrah, mencukur rambut, menyembelih kurban, bershalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Makkah dan mengerjakan tawaf Ifadhah (Ifadhah adalah berangkat dan berpencar dan sesuatu tempat ke tempat lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah thawaf yang dikerjakan setelah berangkat pulang dari 'Arafat).?


"Ya .., benar..."


"Ketika sampai di Mina, dan melempar Jumrah, adakah anda berketetapan hati bahwa anda kini telah sampai ke tujuan, dan bahwa Tuhanmu telah memenuhi untukmu segala hajatmu...?"


"Tidak..."


"Dan pada saat melempar Jumrah, adakah anda meniatkan dalam hati, bahwa dengan itu anda melempar musuh bebuyutanmu, yaitu Iblis, serta memeranginya dengan telah disempurnakannya ibadah hajimu yang amat mulia itu?"


"Tidak..."

"Dan pada saat mencukur rambut, adakah anda berketetapan hati bahwa dengan itu anda telah mencukur dari dirimu segala kenistaan; dan bahwa anda telah keluar dari segala dosa-dosa seperti ketika baru lahir dari perut ibumu ... ?"


"Tidak ..."

"Dan ketika shalat di masjid Khaif, adakah anda berniat untuk tidak memiliki oerasaan khauf (takut) kecuali kepada Allah swt. serta dosa-dosamu sendiri? Dan bahwa anda tiada mengharapkan sesuatu kecuali rahmat Allah ... ?"

"Tidak...."

"Dan pada saat memotong haiwan kurban, adakah anda berniat memotong urat ketamakan dan kerakusan, dan berpegang pada sifat wara' yang sesungguhnya? Dan bahwa anda mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. yang rela memotong leher putra kecintaannya, buah-hatinya dan penyegar jiwanya . . . , agar menjadi teladan bagi manusia sesudahnya . . . , semata-mata demi mengikuti perintah Allah swt... ?"

"Tidak..."

". . . Dan ketika kembali ke Makkah, dan mengerjakan tawaf Ifadhah, adakah anda meniatkan berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali kepada kepatuhan terhadapNya, berpegang teguh pada kecintaan kepadaNya, menunaikan segala perintahNya, serta bertaqarrub selalu kepadaNya ... ?"

"Tidak ..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak mencukur rambut, tidak menyembelih kurban, tidak mengerjakan manasik, tidak bershalat di masjid Khaif, tidak bertawaf thawaful-Ifadhah, dan tidak pula mendekat kepada Tuhanmu . . .!
Kembalilah . . . , kembalilah . . . , sebab anda sesungguhnya belum menunaikan haji anda!!"

(Dipetik daripada buku,"Hidup dan Fikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah, Hikmah Haji, hlm. 79-90, Mizan, 1986).